Saya adalah seorang penikmat dan pengagum kisah-kisah wayang, khususnya Wayang Jawa. Menurut saya kisah pewayangan adalah representasi yang sangat nyata tentang bagaimana manusia hidup dengan segala kebaikan, budi pekerti, juga kejahatan dan intrik-intriknya. Cerita pewayangan jelas jauh lebih bermutu dan berbobot daripada cerita sinetron di televisi yang tidak jelas pesan moral dan hanya profit motif.
Berawal dari masa kecil saya di mana ayah saya sering menceritakan cerita-cerita kepahlawanan para wayang sebagai pengantar tidur atau sekedar pengisi waktu senggang. Selain itu saat saya masih sekolah dulu, di rumah ada beberapa majalah pewayangan yang cukup eksklusif, yang membuat saya betah berlama-lama membacanya. Tumpukan-tumpukan kisah di kepala saya itulah yang membuat saya semakin tertarik tentang wayang.
Ada tiga cerita besar pewayangan yang saya suka dan mungkin juga umum diketahui orang-orang. Pertama adalah Mahabarata yang menceritakan perselisihan antara Pandawa dan Kurawa, dan memiliki klimaks pada Perang Baratayuda. Kedua adalah Ramayana yang menceritakan cinta segitiga antara Rama, Shinta, dan Rahwana. Lalu yang ketiga adalah cerita Punakawan yang terdiri dari Semar, Gareng, Petruk, Togog, dan Bagong. Punakawan biasanya berisi humor-humor, tetapi tetap mempunyai pesan moral yang dalam.
Ketiga cerita tersebut akan berusaha saya tulis dalam blog ini nanti.
Berikut ini adalah sejarah singkat wayang:
Wayang dikenal oleh bangsa Indonesia sudah sejak 1500 th. sebelum Masehi, karena nenek moyang kita percaya bahwa setiap benda hidup mempunyai roh/jiwa, ada yang baik dan ada yang jahat. Agar tidak diganggu oleh roh jahat, maka roh-roh tersebut dilukis dalam bentuk gambaran (gambar ilusi) atau bayangan (wewayangan/wayang ), disembah dan diberi sesajen yang kemudian dikenal kemudian dengan kepercayaan Animisme.
Kepercayaan nenek moyang kita demikian berlangsung lama, tetapi dengan kedatangan Agama Hindu kepercayaan baru yang datang dari India termasuk juga adat dan budayanya, maka gambaran ( gambar ilusi ) Roh, berubah fungsinya. Dahulunya untuk disembah kemudian berubah menjadi alat peraga untuk menyampaikan ajaran-ajaran agama. Hal demikian kelak ditiru oleh Sunan Kalijaga ( R.M. Said ) salah satu Wali Songo untuk menyebarkan dan mengembang kan ajaran Islam di Indonesia, meskipun disana-sini disisipkan ajaran-ajaran filsafat dan agama Islam, seperti “Jimat Kalimusodo” yang dimaksud adalah dua kalimat syahadat. Demikian pula variasi-variasi ceritanya selain cerita Mahabarata dan Ramayana, masih banyak cerita-cerita yang diadopsi dari cerita-cerita Panji, cerita Menak yang berkembang pada masa Kesultanan Ngayogjakarta Hadiningrat.
Perkembangan bentuk wayang juga menga lami perkembangan ragamnya, yakni mulai dari rumput, kulit kayu, kulit binatang ( wayang kulit ), wayang lukisan kain ( wayang beber ) dlsb.
Wayang bukan hanya sekedar tontonan tetapi juga tuntunan dalam kehidupan untuk mencapai kebahagiaan baik di dunia maupun di akherat dalam tingkat kesempurnaan abadi, sehingga tokoh-tokoh di pewayangan di identikkan dengan sifat-sifat manusia dan alam didalam kehidupan sehari-harinya. Dalam cerita pewayangan banyak ditemukan falsafah-falsafah hidup dan sering dijadikan kajian ilmiah oleh peneliti-peneliti dan Mahasiswa-mahasiswa baik didalam maupun diluar negeri, belajar dan mendalami wayang di Indonesia.
Dunia mengakui wayang sebagai master piece (master perdamaian) karya budaya bangsa Indonesia yang mendapat predikat ” THE ORAL AND INTANGIBLE WORLD HERITAGE OF HU-MANITY ” oleh PBB melalui UNESCO. Jika dikaji secara cermat dan mendalam, semua cerita pewayangan mengandung makna filosufis yang sangat berarti bagi kehidupan ma nusia yaitu menunjukkan arah yang benar mengenai kebenaran yang hakiki.
Dewasa ini anak muda di Indonesia kurang familiar dan kurang menyukai kisah-kisah pewayangan. Entah karena menjamurnya hiburan dari luar negeri, kurangnya kesadaran melestarikan budaya sendiri, atau bahkan orangtua yang sudah tidak peduli sehingga anak pun sebelas duabelas. Padahal di luar negeri, khususnya Belanda, terlihat sekali pelestarian budaya ini. Cerita wayang yang digeneralisasikan dalam Sastra Jawa sangat dihargai di Belanda. Sebagai buktinya adalah di Universiteit Leiden tersimpan manuskrip-manuskrip Jawa kuno yang masih terawat rapi. Di samping itu, berbagai naskah sastra Jawa kontemporer pun dapat ditemukan di sana. Tentunya tak sekadar disimpan, tapi berbagai naskah itu juga dipelajari, didiskusikan, dan diapresiasi oleh para mahasiswanya yang jumlahnya mencapai ribuan.
Di universitas itu juga kemudian muncul para munsyi pada bidang bahasa dan sastra Jawa yang kepiawaiannya telah diakui, bahkan oleh Indonesia sendiri. Sebagai contoh adalah Dr. Theodoor Gautier Thomas Pigeaud. Tak banyak orang yang mengenalnya. Dia adalah seorang ahli sastra Jawa dari Belanda. Melalui jerih payahnya, kemudian lahirlah Kamus Bahasa Jawa-Belanda yang dijadikan dasar oleh W.J.S. Poerwadarminta sebagai Baoesastra Djawa. Lelaki keturunan Perancis itu juga pernah melakukan studi mengenai kitab Nagarakretagama. Beliau meninggal dunia pada tahun 1988.
Sekarang saja mahasiswa sastra Jawa Indonesia sudah pergi ke Belanda hanya untuk studi banding dan belajar sastra Jawa. Tidak miriskah kalian mengetahui kondisi ini? Saya miris.
Dr. Theo Pigeaud |
Sekarang saja mahasiswa sastra Jawa Indonesia sudah pergi ke Belanda hanya untuk studi banding dan belajar sastra Jawa. Tidak miriskah kalian mengetahui kondisi ini? Saya miris.
Mari bersama-sama belajar mencintai dan melestarikan budaya kita sendiri. Sehingga tidak ada lagi cerita di masa mendatang, kita marah karena budaya kita direbut bangsa lain akibat kebodohan kita sendiri. ^^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar